Puisi Untuk Ibu

for my Mom and all mothers around the world....


(Bahasa)
Ibuku

ketika ibumu sudah semakin tua
ketika matanya yang lembut
tidak bisa lagi melihat kehidupannya seperti yang dulu
ketika kakinya sudah semakin lelah
tidak mampu lagi membawanya berjalan
maka pinjamkanlah tanganmu untuk menopangnya, dampingi dia dengan perasaan bahagia
saatnya akan tiba saat kamu harus menemaninya di saat-saat terakhirnya.
dan ketika dia bertanya kepadamu, maka berilah dia jawaban
dan ketika dia bertanya lagi, maka jawablah lagi
dan ketika masih bertanya lagi, berilah tanggapan lagi, bukan dengan ketidaksabaran, namun dengan kelembutan.
dan jika dia masih belum bisa mengerti dengan baik, jelaskanlah kepadanya dengan senyuman.
waktunya akan tiba, waktu yang pahit, ketika mulutnya tidak bisa lagi bertanya apa-apa.


(English)

My Mom

When your mother has grown older,
When her dear, faithful eyes
No longer see life as they once did,
When her feet, grown tired,
No longer want to carry her as she walks,
Then lend her your arm in support, escort her with happy pleasure—
the hour will come when, weeping, you must accompany her on her final walk.

And if she asks you something, then give her an answer.
And if she asks again, then speak!
And if she asks yet again, respond to her, not impatiently, but with gentle calm.

And if she cannot understand you properly, explain all to her happily.
The hour will come, the bitter hour, when her mouth asks for nothing more.
 
( ADOLF HITLER 1989-1945 )
 

Dua Bata Jelek

sering kali kita sebagai manusia lebih suka melihat kejelekan orang tanpa kita tahu bahwa kejelekan tersebut hanya sebagian kecil dari dirinya. dibalik kejelekan itu, sangat mungkin terdapat berjuta kebaikan..lihatlah ke dalam diri kita masing-masing, tanyakan pada hati kita,,apakah kita senang dijelek-jelekan orang lain tanpa mereka tahu diri kita sebenarnya??

baca dan renungkan....


Setelah kami membeli tanah untuk vihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangungan diatas tanah itu, pun tidak sebuah gubuk. Pada minggu-minggu pertama kami tidur diatas pintu-pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjalkan dengan batu bata pada setiap sudutnya untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras–tentu saja, kami kan bhiksu hutan).Bhiksu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu datar. Pintu saya bergelombang dengan lubang yang cukup besar ditengahnya, di mana dulunya tempat pegangan pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetapi lantas jadinya ada lubang persis ditengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tidak perlu bangkit dari ranjang jika ingin pergi ke toilet !. Kenyataannya, bagaimanapun juga, angin masuk melalui lubang itu. Saya jadi tak bisa tidur nyenyak selama malam-malam itu.
Kami hanyalah bhiksu-bhiksu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang–bahan-bahan bangunannya saja sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang : bagaimana mempersiapkan pondasi, menyemen dan memasang batu bata, mendirikan atap, memasang pipa-pipa–pokoknya semua. Saya adalah seorang fisikawan teoritis dan guru SMU sebelum menjadi Bhikkhu, tidak terbiasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan saya menjuluki tim saya sebagai BBC (Buddhist Building Company). Akan Tetapi, pada saat memulainya, hal itu sangatlah sulit.
Kelihatannya gampang membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, sisi lainnya jadi naik. Lalu saya ratakan sisi itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!Sebagai seorang Bhiksu, saya memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang saya perlukan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya saya menyelesaikan tembok batu bata saya yang pertama dan berdiri dibaliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saat itulah saya memperhatikannya — oh, tidak! — saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua bata tersebut tampat miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.

Saat itu, semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala vihara apakah saya boleh membongkar tembokk itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu, meledakkannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menjadi gundah gulana. Kepala vihara bilang tidak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.

Ketika saya membawa para tamu pertama berkunjung keliling vihara setengah jadi kami, saya selalu menghindari membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.